ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ISLAM
A. ALIRAN PARIPATETIK
Istilah paripatetik muncul sebagai sebutan bagi para pengikut Aristoteles. Paripatetik sendiri berasal dari bahasa Yunani “paripatein” yang berarti berkeliling, berjalan-jalan berkeliling. Kata ini juga menunjuk pada suatu tempat, beranda dari peripatos. Dan dalam tradisi Yunani, kata ini mengacu pada suatu tempat yang biasa digunakan oleh Aristoteles untuk mengajar sambil berjalan-jalan. Dalam tradisi filsafat islam paripatetik disebut dengan istilah masysyaiyyah yang diambil dari kata masya-yamsyi-masyyan wa timsyaan yang juga memiliki arti berjalan atau melangkahkan kaki dari satu tempat ketempat yang lainLanjutkan Membaca.
Terdapat beberapa ahli hikmah baik yang islam maupun non islam yang dikelompokkan sebagai para filosof paripatetik. Dikatakan sebagai filosof paripatetik dikarenakan oleh landasan epistemologi yang digunakan bagi filsafat mereka berdasarkan rasional murni yang tersusun dari premis minor dan premis mayor yang telah disepakati. Para filosof tersebut antara lain Plato, Aristoteles, Plotinus. Sementara dari dunia islam antara lain al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang kebetulan menjadi wakil para filosof paripatetik sebelumnya, serta pemikirannya yang menjadi objek pembahasan kami pada makalah ini.
a) Ibn Sina
Abu Ali Hussein ibn Abdullah ibn Sina, yang di Barat dikenal dengan nama Avicenna dilahirkan pada tahun 370 H / 980 M di Afsyana dekat Bukhara, dan meninggal di Hamadan pada tahun 428 H/1037 M. Di Timur ia dikenal sebagai Hujjat al-Haqq (bukti sang Tuhan/kebenaran), Ia terlahir dari keluarga yang menganut paham isma’iliyah. Sejak usia dini, Ibn Sina sudah menunjukkan bakatnya yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan ayahnya yang selalu memperhatikan pendidikannya . di usianya yang kesepuluh, Ibn sina sudah menguasai keseluruhan al-Qur’an dan tata bahasa, dan sudah mulai mempelajari logika dan matematika. Setelah menguasai logika dan matematika, ia pun segera beranjak untuk mempelajari fisika, metafiska, dan kedokteran kepada Abu Sahl al-Masihi. Di usianya yang ke enam belas ia sudah mahir dalam semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di masanya kecuali metafisika seperti terkandung dalam metafisikanya Aristoteles yang walaupun ia telah membacanya berulang-ulang bahkan sampai menghafalnya ia masih belum bisa memahaminya. Namun hal itu pun teratasi ketika ia membaca ulasan-ulasan al-Farabi tentang metafisika Aristoteles yang memberikan penjelasan pada bagian-bagian yang dianggap rumit oleh Ibn Sina. Di usianya yang ke delapan belas, Ibn Sina sudah menguasai semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di masanya tanpa terkecuali, sejak saat itu Ibn Sina sudah tidak lagi memperluas pengetahuannya, beliau hanya mendalami pengetahuan yang sudah ia miliki sebelumnya. hal ini tercermin dari perkataannya yang ia ucapkan kepada muridnya, al-Juzjani di penghujug usianya bahwa sepanjang tahun yang telah ia lalui ia telah mempelajari tidak lebih dari apa yang ia ketahui sebagai seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun.
b) Ontologi
Berbicara masalah status ontologis segala sesuatu, secara otomatis kita akan berbicara masalah hakikat dari sesuatu yang akan kita bahas. Pada hal ini objek pembahasan kita adalah ontologi dari filsafat paripatetik menurut Ibn Sina. Hakikat sesuatu tergantung pada eksistensinya, dan pengetahuan atas sebuah obyek pada puncaknya adalah pengetahuan terhadap status ontologisnya dalam rangkaian eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya. Kajian Ibn Sina yang menjadi ciri utama dari seluruh gagasan ontologinya adalah mengenai perbedaan yang sangat mendasar tentang segala sesuatu. Perbedaan itu adalah mengenai kuiditas atau esensi (mahiyah) sesuatu dan eksistensinya (wujud) sesuatu, berikut keniscayaan, kemungkinan, dan kemustahilannya. Namun sebelum kita membahas lebih jauh perihal gagasan ontologinya Ibn Sina, alangkah baiknya kalau kita perjelas dahulu apa yang dimaksud dengan kuiditas (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Berbicara masalah kuiditas (mahiyah) biasanya identik dengan pertanyaan apakah sesuatu itu? (ma hiya). Untuk lebih jelasnya kita akan coba untuk membawanya pada perumpamaan. Misalnya, ketika seseorang membayangkan seekor ayam jantan, maka secara tidak langsung orang itu dapat membedakan gagasan tentang ayam jantan tersebut yang meliputi warna, bentuk, dan sebagainya yang disebut sebagai kuiditas (ahiyah) dengan ayam jantan itu sendiri yang ada pada realitas external yang disebut exsistensi (wujud). Di dalam pikiran kuiditas sesuatu tidak terikat dengan eksistensinya artinya bahwa setiap orang dapat memikirkan apapun, kendati apa yang dipikirkan itu tidak ada pada realitas eksternal. Seperti ketika seseorang bisa berpikir tentang manusia yang bersayap, yang pada realitasnya eksternalnya manusia bersayap itu tidak ada. Namun dalam realitas eksternal kuiditas dan eksistensi itu adalah hal yang sama, tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Artinya bahwa kuiditas dan eksistensi itu bukanlah dua hal yang memiliki realitas eksternal masing-masing melainkan pada realitas eksternal keduanya itu adalah satu komponen yang membentuk satu realitas di dalam realitas eksternal. Dari penjelasan di atas, dapat kita hubungkan langsung dengan pokok permasalahan yang akan menjadi dasar prinsip (ashl) Ibn Sina adalah tentang pendapat beliau yang menyatakan bahwa eksistensilah yang memberikan realitas pada setiap kuiditas. Walaupun beberapa abad berikutnya, pendapat ini mendapat kritikan keras dari pilosof Suhrawardi yang justru memiliki konsep yang berbeda dengan konsep (ashl) Ibn sina. Dan persoalan ini akan kami bahas pada pembahasan berikutnya seputar Suhrawadi.
Hal lain yang menjadi perbedaan mendasar mengenai kuiditas dan eksistensi dalam sudut pandang Ibn Sina adalah mengenai pemilahan beliau tentang wujud niscaya (wajib), mungkin (mumkin), dan mustahil (mumtani’). Inilah formulasi original dari Ibn Sina yang disepakati oleh para pilosof setelahnya.
- Niscaya ( wajib)
2. Mungkin (mumkin)
Apabila kuiditas sebuah objek berhadapan dengan eksistensi dan noneksistensi. Artinya bahwa sesuatu itu bisa ada atau tidak ada tanpa menimbulkan kontradiksi atau kemustahilan, maka sesuatu itu bisa dikatakan sebagai wujud mungkin (mumkin). Banyak hal yang bisa kita nisbatkan pada wujud mungkin ini, seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Bahwa keberadaan atau ketiadaan manusia itu tak akan menyebabkan suatu kemustahilan atau kontradiksi. Ia bisa ada atau pun tidak ada.
3. Mustahil (mumtani’).
Apabila seseorang melihat kuiditas sebuah objek di dalam pikiran, dan kuiditas tersebut tidak dapat diterima oleh eksistensi dengan cara apapun yaitu kuiditas tersebut tidak dapat eksis karena tidak ada eksistensi yang mampu menerimanya , maka objek tersebut tidak ada atau mustahil ada (mumtani’).
Selanjutnya bahwa Ibn Sina juga membagi wujud mungkin itu sendiri menjadi dua bagian, pertama adalah wujud mungkin yang di dalam dirinya dijadikan wujud niscaya oleh wujud niscaya, dan yang kedua wujud mungkin yang di dalam dirinya tidak dijadikan wujud niscaya oleh wujud niscaya. Hal ini akan kami bahas dalam pembahasan kosmologinya Ibn Sina pada pembahasan kosmologi.
c) Kosmologi
Pembahasan kosmologi ini membahas tentang proses bagaimana suatu ketunggalan itu bisa berubah menjadi suatu keragaman, layaknya alam semesta, para malaikat yang beragam itu berasal dari suatu yang tunggal yaitu tuhan. kosmologi melalui sudut pandang Ibn Sina ini sebenarnya sangat berkaitan erat dengan pembahasan angelologi. Maksudnya bahwa malaikat memiliki peran dan signifikansi dalam proses penciptaan. Dengan bersandarkan kepada skema pancaran hierarki malaikat yang berurutan, namun masih dalam koridor kemungkinan dan ketergantungannya sebagai makhluk. Maka dari sinilah Ibn Sina berpandangan bahwa dari yang satu itu hanya mungkin melahirkan satu wujud. Wujud itulah yang disebut akal pertama sebagai pancaran langsung dari tuhan. Dan dari wujud pertama memancarkan akal kedua serta langit pertama, begitu seterusnya hingga sampai akal ke sepuluh dan bumi, dan dari akal ke sepuluh memancarkan segala sesuatu yang ada di bumi. Dikatakan juga bahwa akal pertama itu adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah jibril. Ibn Sina juga menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah proses penciptaan itu terjadi.
Penting juga untuk diketahui bahwa akal satu itu memiliki dua sifat, pertama adalah sifat al-wajib wujud lighairihi hal ini jika ditinjau dari sifat akal satu sebagai pancaran langsung dari tuhan. Yang kedua adalah mumkin al wujud lidzatihi hal ini jika ditinjau dari hakikat dirinya.
Sebelum masuk pada pembahasan selanjutnya ada baiknya kalau kita membahas terlebih dahulu tentang keterbagian wujud mumkin menjadi dua bagian, yang pertama adalah wujud mumkin yang mengandung sifat niscaya dan wujud mumkin yang sama sekali tidak mengandung sifat niscaya. Wujud mumkin yang pertama ini adalah apa yang kita sebut malaikat sebagai “akibat abadi” dari Tuhan, artinya bahwa Tuhan menjadikannya sebagai wujud yang niscaya namun tingkat keniscayaan disini berbeda dengan keniscayaan yang ada pada Tuhan. Wujud mumkin yang kedua ini adalah apa yang kita sebut manusia, hewan, dsbg. Artinya bahwa wujud manusia ini tidak bersifat abadi. Inti perbedaannya adalah bahwa wujud mumkin para malaikat bersifat abadi dan wujud mumkin manusia, hewan, dsbg itu tidak bersifat abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar